Menjemput Makna Isra Mi'raj
Oleh Indah Wulandari
Turunnya perintah shalat , mestinya diyakini sebagai pengabdian.
''Saya meyakini, Allah SWT tentu tak menjadikan suatu peristiwa tanpa ada maknanya,'' ujar Qurroti A'yun (30). Konsultan manajemen Sub Specialist Poverty Alleviation Partnership Grant (PAPG) National PNPM Urban ini menyinggung soal Isra Mi'raj yang selalu diperingati umat Islam pada setiap 27 Rajab.
Bagi A'yun, Isra Mi'raj yang merupakan perjalanan yang dialami Nabi Muhammad SAW pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu dari sana menuju Sidratul Muntaha, bukan perjalanan wisata biasa bagi seorang nabi tetapi tonggak diterimanya perintah shalat lima waktu langsung dari Allah.
Ia memandang Isra Mi'raj penting bagi seorang Muslim. Lantaran shalat dipandangnya sebagai identitas keislaman dan tolok ukur kepatuhan hamba kepada Tuhannya. Salah satu pengelola pesantren dan pendidikan Islam di Lumajang ini, mengatakan Isra Mi'raj dapat diartikan sebagai puncak perjalanan seorang hamba menuju sang pencipta.
Tak hanya menarik makna, tradisi lingkungan di mana ia tumbuh mempengaruhinya untuk menjaga tradisi peringatan Isra Mi'raj. Tradisi di tempatnya, dikenal dengan nama Rajaban. ''Biasanya, diisi dengan ibadah-ibadah sunah dan meningkatkan ibadah fardhu pula,'' katanya, Senin (20/6)
A'yun mengatakan, ada maksud Allah menghadirkan serangkaian peristiwa kepada makhluk-Nya termasuk peristiwa Isra Mi'raj. Allah memberikan kesempatan kepada umat Islam merenungi semua itu. Ia telah menemukan hikmah, yang paling dirasakannya mengenai urgensi shalat.
Banyak manfaat yang terungkap dari kewajiban shalat. Ia mengaitkannya kembali dengan Isra, sebagai isyarat bahwa manusia perlu membangun relasi horisontal dengan sesamanya termasuk lingkungan tempat tinggalnya. Ia sudah menerapkannya dengan menjaga etika dan pergaulan baik dengan tetangganya.
Sedangkan terhadap lingkungannya, ia tak mau menggunakan bungkus berbahan plastik untuk mengurangi dampak pemanasan global. Mi'raj, imbuh dia, adalah isyarat selain harus mengelola dengan baik hubungannya dengan masyarakat, manusia diminta membangun relasi vertikal yang baik dengan Allah.
Menurut A'yun, membangun relasi horisontal dan vertikal itu harus seimbang dan simultan. Ia juga menemukan esensi lain dari peristiwa bersejarah itu yaitu pengusiran demi pengusiran yang dialami Rasul dalam berdakwah.''Itu meyakinkan saya, Allah akan menolong orang yang melakukan kebenaran meski semua orang memusuhinya.''
Executive Fundraising Al-Azhar Peduli Umat, Ahmad Ahidin (25) menyatakan, Isra Mi'raj harus dipercaya tak hanya oleh hati melainkan pula dengan keimanan. Ia telah menelusuri maknanya sejak ia mengeyam pendidikan di pesantren. Baginya, Isra Mi'raj menunjukkan kekuasaan Allah terhadap hamba-Nya.
Ia menyimpulkan, sebagai hamba harus sadar betul nilai dari sebuah pengabdian. Maka, saat perintah untuk shalat lima waktu turun, umat Rasullullah mesti mengartikannya sebagai sebuah pengabdian total. Upayakan memperoleh perhatian Allah karena pengabdian atau ibadah.
Menguji iman
Lain lagi dengan penuturan dr Harris Istianggoro (28 tahun). Dokter di bagian layanan spesialis tulang belakang Wooridul Spine Center Jakarta ini menerapkan nilai-nilai keimanan dalam Isra Mi'raj dalam profesinya. ''Pondasi dasar agama adalah percaya atau beriman,'' ujarnya.
Lewat Isra Mi'raj, Rasul diuji keimanannya atas kekuasaan Allah. Disamping itu, turunnya perintah shalat lima waktu menjadi pondasi dalam kehidupan Muslim. Namun, lanjut Harris, ketika ditelisik lebih dalam hal yang menonjol adalah soal pengujian tingkat keimanan seorang Muslim.
Dia mengumpamakan nilai keimanan ibarat hubungan antara pasien dengan dokternya. Ketika pasien percaya pada dokternya, pasien akan pasrah dan menerima apa yang diminta dokternya. ''Karena mereka yakin dokter dapat membantu mengatasi penyakit yang diderita. Seperti itulah keimanan dalam diri Muslim,'' tutur Harris.
Kesimpulan itu tak muncul begitu saja. Ia menjalani sebuah proses. Ia ikut dalam diskusi dan kajian tentang keimanan dan ketuhanan saat kuliah. Awalnya, dia merasa ada sesuatu tentang keimanan pada Allah yang berbenturan dengan realita. Apalagi saat di sekolah dasar dia hanya mendapatkan cerita ganjil tentang perjalanan semalam Nabi Muhammad.
''Sebenarnya dulu cerita itu seperti khayalan saja. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan Miraj (ke Sidrahtul Muntaha) hanya ditempuh dalam semalam. Agak nggak masuk logika untuk zaman itu,'' ungkapnya. Seiring waktu Harris bisa menemukan tautan Isra Mi'raj dengan identitasnya sebagai Muslim.
Kalau seorang Muslim sudah percaya pada kekuasaan Allah, imbuhnya, haruslah mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya. ''Kalau kita percaya bahwa Tuhan itu ada, kita harus taat dan patuh semampu kita,'' pungkas Harris.
Turunnya perintah shalat , mestinya diyakini sebagai pengabdian.
''Saya meyakini, Allah SWT tentu tak menjadikan suatu peristiwa tanpa ada maknanya,'' ujar Qurroti A'yun (30). Konsultan manajemen Sub Specialist Poverty Alleviation Partnership Grant (PAPG) National PNPM Urban ini menyinggung soal Isra Mi'raj yang selalu diperingati umat Islam pada setiap 27 Rajab.
Bagi A'yun, Isra Mi'raj yang merupakan perjalanan yang dialami Nabi Muhammad SAW pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu dari sana menuju Sidratul Muntaha, bukan perjalanan wisata biasa bagi seorang nabi tetapi tonggak diterimanya perintah shalat lima waktu langsung dari Allah.
Ia memandang Isra Mi'raj penting bagi seorang Muslim. Lantaran shalat dipandangnya sebagai identitas keislaman dan tolok ukur kepatuhan hamba kepada Tuhannya. Salah satu pengelola pesantren dan pendidikan Islam di Lumajang ini, mengatakan Isra Mi'raj dapat diartikan sebagai puncak perjalanan seorang hamba menuju sang pencipta.
Tak hanya menarik makna, tradisi lingkungan di mana ia tumbuh mempengaruhinya untuk menjaga tradisi peringatan Isra Mi'raj. Tradisi di tempatnya, dikenal dengan nama Rajaban. ''Biasanya, diisi dengan ibadah-ibadah sunah dan meningkatkan ibadah fardhu pula,'' katanya, Senin (20/6)
A'yun mengatakan, ada maksud Allah menghadirkan serangkaian peristiwa kepada makhluk-Nya termasuk peristiwa Isra Mi'raj. Allah memberikan kesempatan kepada umat Islam merenungi semua itu. Ia telah menemukan hikmah, yang paling dirasakannya mengenai urgensi shalat.
Banyak manfaat yang terungkap dari kewajiban shalat. Ia mengaitkannya kembali dengan Isra, sebagai isyarat bahwa manusia perlu membangun relasi horisontal dengan sesamanya termasuk lingkungan tempat tinggalnya. Ia sudah menerapkannya dengan menjaga etika dan pergaulan baik dengan tetangganya.
Sedangkan terhadap lingkungannya, ia tak mau menggunakan bungkus berbahan plastik untuk mengurangi dampak pemanasan global. Mi'raj, imbuh dia, adalah isyarat selain harus mengelola dengan baik hubungannya dengan masyarakat, manusia diminta membangun relasi vertikal yang baik dengan Allah.
Menurut A'yun, membangun relasi horisontal dan vertikal itu harus seimbang dan simultan. Ia juga menemukan esensi lain dari peristiwa bersejarah itu yaitu pengusiran demi pengusiran yang dialami Rasul dalam berdakwah.''Itu meyakinkan saya, Allah akan menolong orang yang melakukan kebenaran meski semua orang memusuhinya.''
Executive Fundraising Al-Azhar Peduli Umat, Ahmad Ahidin (25) menyatakan, Isra Mi'raj harus dipercaya tak hanya oleh hati melainkan pula dengan keimanan. Ia telah menelusuri maknanya sejak ia mengeyam pendidikan di pesantren. Baginya, Isra Mi'raj menunjukkan kekuasaan Allah terhadap hamba-Nya.
Ia menyimpulkan, sebagai hamba harus sadar betul nilai dari sebuah pengabdian. Maka, saat perintah untuk shalat lima waktu turun, umat Rasullullah mesti mengartikannya sebagai sebuah pengabdian total. Upayakan memperoleh perhatian Allah karena pengabdian atau ibadah.
Menguji iman
Lain lagi dengan penuturan dr Harris Istianggoro (28 tahun). Dokter di bagian layanan spesialis tulang belakang Wooridul Spine Center Jakarta ini menerapkan nilai-nilai keimanan dalam Isra Mi'raj dalam profesinya. ''Pondasi dasar agama adalah percaya atau beriman,'' ujarnya.
Lewat Isra Mi'raj, Rasul diuji keimanannya atas kekuasaan Allah. Disamping itu, turunnya perintah shalat lima waktu menjadi pondasi dalam kehidupan Muslim. Namun, lanjut Harris, ketika ditelisik lebih dalam hal yang menonjol adalah soal pengujian tingkat keimanan seorang Muslim.
Dia mengumpamakan nilai keimanan ibarat hubungan antara pasien dengan dokternya. Ketika pasien percaya pada dokternya, pasien akan pasrah dan menerima apa yang diminta dokternya. ''Karena mereka yakin dokter dapat membantu mengatasi penyakit yang diderita. Seperti itulah keimanan dalam diri Muslim,'' tutur Harris.
Kesimpulan itu tak muncul begitu saja. Ia menjalani sebuah proses. Ia ikut dalam diskusi dan kajian tentang keimanan dan ketuhanan saat kuliah. Awalnya, dia merasa ada sesuatu tentang keimanan pada Allah yang berbenturan dengan realita. Apalagi saat di sekolah dasar dia hanya mendapatkan cerita ganjil tentang perjalanan semalam Nabi Muhammad.
''Sebenarnya dulu cerita itu seperti khayalan saja. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan Miraj (ke Sidrahtul Muntaha) hanya ditempuh dalam semalam. Agak nggak masuk logika untuk zaman itu,'' ungkapnya. Seiring waktu Harris bisa menemukan tautan Isra Mi'raj dengan identitasnya sebagai Muslim.
Kalau seorang Muslim sudah percaya pada kekuasaan Allah, imbuhnya, haruslah mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya. ''Kalau kita percaya bahwa Tuhan itu ada, kita harus taat dan patuh semampu kita,'' pungkas Harris.
ed: ferry kisihandi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar