Jumat, 25 Mei 2012

MENATA HATI KUATKAN IMAN


Melangkah Menuju Dewasa: Sebuah Catatan untuk Remaja

Selamat kepada para siswa baru SMAN 5 Semarang. Setelah perjalanan panjang kalian menempuh tahun-tahun di SD hingga SMP, kini status kalian berganti menjadi siswa SMA. Selangkah lebih maju untuk menuju lembaran hidup kedewasaan.

Menjadi dewasa, bukan sekedar menjadi pribadi yang bebas dan tidak bertanggungjawab. Bukan juga menjadi pribadi yang seenaknya sendiri dan tidak berpikir mengenai lingkungan sekitar. Menjadi dewasa, berarti ada segenap tanggung jawab yang diemban dan dilaksanakan. Tanggung jawab yang besar karena semakin bertambah usia, semakin kita dituntut untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang lebih rendah usianya dari kita. Kita juga dituntut untuk berpikir lebih matang dalam menghadapi permasalahan-permasalahan. Itulah sebabnya, pada masa remaja, masa yang kalian alami, banyak sekali mengalami transisi perkembangan.

Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).

Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001). Tahap operasi formal adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks.

Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.

Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Seperti laiknya peneliti, remaja bisa berpikir mengenai perencanaan atas apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang.

Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.

Personal fabel adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya.

Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

Tugas perkembangan remaja

Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Untuk menyelesaikan krisis ini, kalian sebagai remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya. Untuk itulah, kini, setiap pilihan yang akan kalian lakukan harus dipikirkan secara cermat dan mendalam, karena ia memiliki dampak bagi kehidupan kalian di masa yang akan datang. Dangan terjebak dengan hal-hal yang semu, atau tampak baik di mata kalian, namun ternyata menjerumuskan kalian dalam lembah kesesatan. Berpikir bijak, bukan sekedar bisa menyelesaikan masalah, namun juga tidak menimbulkan masalah baru. Dengan demikian, langkah kalian menapaki jenjang kehidupan yang lebih kompleks akan lebih mudah. So, teenagers, think deeply and get your bright future.

sumber : http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/remaja.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar