Sabtu, 07 Mei 2011

MUSIKARIA : Aku bukan Bang Toyib!

'Ideologi' Terkini Musik Pop Indonesia


Puluhan remaja duduk bergerombol di depan gedung Dinas Pariwisata Yogyakarta. Mereka menunggu giliran untuk tampil dalam sebuah panggung yang digelar di pelataran. Beberapa turis asing yang kebetulan melintas di Jalan Malioboro ikut menyambangi. Sebagian 'bule' itu memotret aksi mereka.

"Kami sudah lima tahun menyelenggarakan acara ini. Acara ini digelar setiap akhir pekan. Jadi, bila dihitung jumlah grup band mencapai ratusan. Dan, semua itu band baru," kata Teno, penggagas acara yang diberi nama 'Keren' itu.

Mengacu pada acara itu, memang mau tidak mau jelas terlihat bahwa impian menjadi artis bagi kalangan muda masa kini sangatlah besar. Bandingannya, bila angka partisipasi anak muda untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini mengendor, gairah untuk berprofesi sebagai seniman musik malah semakin menggila.

"Tak pernah turun minatnya. Malahan kami kewalahan untuk menentukan giliran tampil. Sebagian besar mereka menyanyikan lagu baru. Dan, harus diakui menjadi pemusik atau penyanyi itu  kini menjadi impian para remaja kita," kata Teno lagi.

Tingginya gairah untuk menjadi artis dalam banyak hal memang mulai menjadi kekhawatiran. Beberapa tahun lalu, saat menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, berulang-ulang mengeluhkan sepinya minat remaja untuk berkecimpung di bidang di luar seni. Dia mencontohkan langkanya keinginan remaja Indonesia untuk menggeluti dunia olahraga. "Semua pengin jadi artis. Cepat dapat duit dan terkenal. Sedangkan menjadi atlet jalannya panjang dan rumit, namun belum tentu mendapat imbalan materi setimpal," ujarnya.
                              
'Cepat terkenal dan kaya raya' kini tampaknya memang menjadi mantra ajaib yang menyihir benak anak-anak muda. Sikap ini pun hal biasa sebab mereka juga mendapati kenyataan bahwa generasi yang lebih tua atau bahkan orang tuanya, juga mengidap mental yang sama: hedonis dan sangat materialistis. Ideologi hidup sederhana benar-benar menjadi barang rongsokan alias 'jadul'.

Pada tahun 1977, pengamat musik Remy Silado, sudah menuliskan kekesalannya atas situasi itu. Dia menulis di majalah kajian sosial 'Prisma': Musik Pop Indonesia Satu Kekebalan Sang Mengapa. Remy saat itu dengan ketus menyindir bagaimana musik Indonesia bergerak menjadi musik 'kelontong yang dijajakan oleh tauke abu gosok'. "Musik pop adalah musik niaga. Maka jika pemusik pop diminta berpikir, mereka akan berpikir tentang laba," katanya.

Kegelisahan Remy pun terus berkelindan hingga sekarang. Bayangkan saja, ada penyanyi yang tak punya lagu, bersuara pas-pasan, dan hanya bisa menggoyang-goyangkan tubuh seadanya, tiba-tiba dalam hitungan hari menjadi kaya-raya. Rumahnya berada di kawasan elite Jakarta dan gurita bisnisnya berdiri di banyak tempat. Sebagai anak udik yang dulu setiap harinya hanya punya 'uang segobang' kini jadi seorang miliader.

"Memang dunia pop kerapkali membuat kita orang ngenas tertawa. Ia telah mengubah orang-orang pop jadi padede, kenes, dan genit, cengeng, gembeng, dan seterusnya. Masyarakat pun terlalu berlebihan memuliakan mereka, dan mengakibatkan timbul semacam kepercayaan bahwa apa yang mereka kerjakan adalah mulia, dan oleh sebab itu republik ini harus berterima kasih kepada mereka," ungkap Remy.

Namun, memang di samping bernuansa 'ecek-ecek' nuansa karya seniman pop Indonesia masa kini ada juga yang dapat tergolong serius. Meski sekadar sisa-sisa, cerita kepedihan rakyat yang terpinggirkan dan ketebalan nuansa cinta Tanah Air masih sedikit terasa. Namun, sebagian besar, masih seperti nuansa lagu pop industri yang dimulai dari dari dekade 70-an yang gampangan dan problema cinta pribadi.

Salah satu contoh lagu masa kini yang lumayan baik adalah lagu grup band musik pop melayu  lulusan IAIN Jakarta: Wali. Walau terkesan main-main dan dibuat dengan teknik tiga jurus, syair lagu ini masih cukup intelek. Meski masih banyak kata usang seperti berulang menyebut kata sayang, lagu 'Aku Bukan Bang Toyib', terbilang lumayan alias mendingan.

Kau bilang padaku, kau ingin bertemu
ku bilang padamu oh ya nanti dulu
aku lagi sibuk sayang, aku lagi kerja sayang
untuk membeli beras dan sebongkah berlian


[reff:]
Sayang, aku bukanlah bang toyib
yang tak pulang-pulang
yang tak pasti kapan dia datang


 Lirik lagu ini akan timpang bila dibandingkan dengan syair lagu 'Hipnotis' Indah Pertiwi, yang disebut-sebut hits dan terjual hingga lebih dari satu juta kopi rekaman cakram padat (CD). Isinya tak jelas hanya mengisyaratkan sikap ketidakberdayaan belaka.

kamu suruh datang, mau
kamu suruh pergi, mau
kamu suruh diam, mau
mau maunya
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
diciumi kamu, mau
diduain juga, mau
dicuekin juga, mau
mau maunya

reff:
aku kamu apakan aku
jadinya begini
rasanya seperti
kamu hipnotis aku

kamu kamu hipnotis aku
kamu kamu hipnotis aku ....
Syair lagu ini akan terasa tak jauh berbeda dengan lagu pop yang sempat menjadi hits pada tahun 1963-1964 dan pertengahan dekade 1980-an, lagu 'Patah Hati' yang didendangkan Rahmat Kartolo. Lagu ini juga mengisyaratkan sikap kekonyolan dan ketidakberdayaan.


Patah hatiku jadinya
merana berputus asa
merindukan dikau yang tiada
terbayang setiap masa
Oh begini akhirnya
kasih memutus cinta
apakah aku berdosa aduh
derita menanggung rindu
Bila ku terkenang
akan masa yang silam
air mata berlinang
Oh risaulah hatiku
dan musnah harapanku
namun ku doakan dikau selalu
bahagialah hidupmu ....

                                                   
Tapi, di balik timbunan kegalauan, ternyata syair lagu pop masa kini juga masih ada yang bernuansa patriotisme yang lumayan kental. Memang gayanya tak seperti syair lagu di zaman revolusi yang kerapkali diciptakan Ismail Marzuki, lagu 'Garuda di Dadaku' yang dibawakan band Netral mampu menaikkan rasa kebangsaan. Lagu ini juga mampu menjadi hits, bahkan menjadi penyemangat laga tim nasional sepak bola. Filmnya pun meledak dalam dua pekan ditonton lebih dari satu  juta orang.

Ayo putra bangsa, harumkan negeri ini
Jadikan kita bangga, indonesia

Tunjukkan dunia, bahwa ibu pertiwi, pantas jadi juara
Indonesia

Jayalah negaraku tanah air tercinta indonesia raya
Jayalah negaraku tanah air tercinta indonesia raya

Garuda di dadaku, garuda kebanggaanku
Kuyakin hari ini pasti menang
Kobarkan semangatmu, tunjukkan sportivitasmu,
Kuyakin hari ini pasti menang …


                             
Alhasil, bercermin pada tiga lagu itu, memang harus diakui kecenderungan lagu musik industri (lagu pop) tak banyak berubah. Mayoritas tetap sebagai lagu pelepas lara dari kepedihan pribadi belaka. Kalaupun ada yang bertema sosial atau kebangsaan, jumlahnya tetap sangat minoritas.

Memang itulah kenyataannya. Apalagi, musik dunia juga bernuansa sama seperti itu. Semuanya masih penuh dengan kata I Love You yang 'wungkul'. Misalnya, dalam lagu Justin Bieber, berjudul 'One Time', yang videonya di situs 'Youtube' sudah diunggah lebih dari 235 juta orang.


.... Your world is my world
And my fight is your fight
My breath is your breath
And your heart
And girl you're my one love, my one heart
My one life for sure
Let me tell you one time
(Girl, I love, girl I love you)
I'ma tell you one time
(Girl, I love, girl I love you)

And I'ma be your one guy
You'll be my #1 girl
Always making time for you
I'ma tell you one time
(Girl, I love, girl I love you)
I'ma tell you one time
(Girl, I love, girl I love you) …

Nah, kalau begitu ya sama saja bukan. Dunia memang kini benar-benar bulat. Cara menghibur melalui nyanyian pun nyaris seragam. Jadi, siapa bilang ada pluralisme di dalam dunia lagu pop? 


Jumat, 06 Mei 2011 pukul 15:06:00
Muhammad Subarkah, Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar