Kehamilan tak diharapkan pada remaja
oleh Tyas Renaninggalih pada 13 April 2011 jam 15:08
Permasalahan tersebut disebabkan karena adanya beberapa perubahan, antara lain perubahan fisik, teman sebaya, minat, dan moral. Setiap tahapan perkembangan mempunyai permasalahan tersendiri. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh remaja berkaitan dengan perubahan fisik, minat seks, dan perilaku seks adalah terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan. Kehamilan tak diharapkan (KTD) adalah kehamilan yang terjadi sebelum waktunya, yaitu terjadi di luar pernikahan dan dialami pada usia remaja. Hal ini menimbulkan beberapa risiko, baik fisik maupun psikologis.
Remaja yang melakukan seks bebas (seks pra-nikah) adalah kelompok remaja berisiko tinggi mengalami KTD. Masa remaja akan terampas karena terbebani tanggung jawab besar, dan mereka pun akan kehilangan masa bergaul dengan baik, belajar, dan berprestasi setinggi-tingginya. Walaupun kehamilan itu sendiri dirasakan langsung oleh perempuan, tetapi remaja pria juga akan merasakan dampaknya ketika diharuskan bertanggung jawab.
Risiko Fisik
Kehamilan pada usia dini (< 20 tahun) bisa menimbulkan kesulitan dalam persalinan, seperti pendarahan, bahkan bisa sampai pada kematian. Kehamilan di usia yang sangat muda juga berisiko bagi si bayi seperti kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, dan masalah kesehatan serius lainnya yang bahkan beresiko pada kematian bayi.
Risiko Psikis
Ada kemungkinan pihak perempuan akan menjadi ibu tunggal karena pasangan tidak mau menikahinya atau tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jika mereka menikah, maka bisa mengakibatkan perkawinan bermasalah yang penuh konflik karena sama-sama belum siap memikul tanggung jawab sebagai orang tua. Selain itu, pasangan muda terutama pihak perempuan, akan sangat terbebani oleh berbagai perasaan yang tidak nyaman, seperti dihantui rasa malu yang terus menerus, rendah diri, bersalah/berdosa, depresi, tertekan, dan pesimis.
Apabila tidak ditangani dengan baik, maka perasaan-perasaan tersebut bisa menjadi gangguan kejiwaan yang lebih parah. Meskipun demikian, ada beberapa pasangan yang setelah menikah mendapatkan kehidupan yang lebih baik jika masing-masing pihak benar-benar bertanggung jawab, menyadari kesalahan, dan memperbaiki diri agar anak yang dilahirkan dari KTD tidak mengulang kesalahan yang sama.
Risiko Sosial
Salah satu risiko sosial adalah berhenti/putus sekolah atas kemauan sendiri dikarenakan rasa malu atau cuti melahirkan. Kemungkinan yang lain adalah dikeluarkan dari sekolah. Hingga saat ini, masih banyak sekolah yang tidak mentolerir siswi yang hamil. Risiko sosial lain: menjadi objek gosip, kehilangan masa bergaul dengan teman sebaya, dan terkena cap buruk karena melahirkan anak di luar nikah. Di Indonesia, cap buruk akibat kelahiran anak di luar nikah juga menjadi beban moral bagi orang tua maupun anak yang akan lahir.
Risiko Ekonomi
Merawat kehamilan, melahirkan, dan membesarkan bayi/anak membutuhkan biaya besar, sedangkan remaja umumnya belum mampu bekerja dan hidup mandiri. Kebanyakan mereka masih membutuhkan sokongan finansial dari orangtua.
Masalah kehamilan pada remaja semakin kompleks bila seorang remaja perempuan mempertahankan bayi yang dikandungnya dan membesarkannya tanpa ikatan perkawinan. Remaja perempuan cenderung tidak menginginkan anaknya diadopsi, walaupun kehamilan dianggap tidak sah dan daya daya dukung untuk membesarkan anak sangat rendah. Kehidupan kebanyakan remaja yang hamil di luar pernikahan rentan terhadap berbagai masalah. Oleh karena itu, hindarilah KTD. Pergaulan yang terlalu bebas dan perilaku permisif dapat menjadi pemicu KTD. Berhati-hati dan selektif dalam memilih teman bergaul sangatlah penting, mengingat di masa remaja ’peer pressure’ atau tekanan dari teman sebaya sangat besar pengaruhnya, termasuk untuk mencoba perilaku yang beresiko menyebabkan KTD.
Remaja baik perempuan maupun laki-laki juga perlu membekali diri dengan informasi yang benar dan bertanggung jawab tentang perilaku seks yang berisiko. Misalnya, jangan dianggap berpegangan tangan atau berciuman sepenuhnya ’aman’ dan tidak beresiko karena seringkali ini menjadi awal munculnya perilaku lain yang lebih berisiko dan berakibat fatal.
Matangkan diri, ikatlah rasa cinta sesuai dengan norma yang dipercayai disertai tanggung jawab.Pernikahan mendukung untuk lahir dan tumbuhnya generasi penerus yang lebih baik.
Penulis:
R. Ninggalih (Tyas)
Alumni SMA 5 Semarang, sekarang mukim di Jepang (sekolah)
Catatan kaki: Tulisan ini dimuat juga di majalah online 1000guru edisi kelima:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar