Monopoli 1 Syawal
oleh Nurul Khaqiqoh
Selama hidup di Kota Mataram saya terbiasa mengikuti ketetapan 1 Syawal via pesan pendek dari beberapa kawan pergerakan (harokah). Isi pesan pendek tersebut tentu dari kawan pergerakan yang tinggal di negara lain sudah melihat hilal. Tapi beda setelah tinggal di sini, Desa Kelayu. Tiap malam secara individu, masyarakat Desa Kelayu terbiasa melihat perubahan bulan untuk menentukan 1 Syawal.
Kata Nabi Besar Muhammad shallallah alaihi wa sallam, patokan melihat Al Hilal mengawali puasa Ramadhan dan mengakhirinya adalah dengan rukyah al hilal (melihat bulan baru).
Dalam beberapa hadits Rasulullah shallallah alaihi wa sallam mengatakan, “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (al hilal), dan berbukalah kalian (di awal Syawal) dengan melihatnya. Maka jika ia (hilal itu) terhalangi dari pandangan kalian, maka lengkapkan bilangan Sya'ban sampai 30 hari" (HR. Bukhari).
Matahari dan bulan memang dapat dijadikan ukuran perhitungan waktu, karena ketepatan rotasi dan revolusi sehingga terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan dapat diprediksi beberapa bulan sebelum terjadi.
Bila bulan sudah cukup memenuhi kriteria tanda awal Bulan Syawal 1430 H, seperti keterangan Ka Astronomi FMIPA ITB Dr. Moedji Raharto, maka awal Syawal 1430 H jatuh pada 19 September 2009 setelah maghrib dan shalat Ied 1430 H pada hari Ahad tanggal 20 September 2009.
Namun di negeri ini sering banget jumlah hari Ramadhan 30 hari. Padahal bila rukyatul hilal di suatu negeri Muslim telah terlihat maka hal tersebut bisa menjadi patokan bagi negeri-negeri lain untuk mengikutinya.
Umat Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dalam menentukan patokan penanggalan adalah revolusi dan rotasi bulan yang disebut Bulan Sinodis, yaitu 29,5 hari. Karena itulah penanggalan bulan Hijriyah adalah 6 bulan 28 hari, dan 6 bulan 29 hari selang-seling (artinya kalau bulan Sya'ban 30 hari berarti bulan Ramadhan 29 hari dan bulan Syawal 30 hari, dan seterusnya), sehingga satu tahun komariyah adalah (6x29) + (6x30) = 354 hari. Karena ketepatan inilah seharusnya umat Islam tidak ragu dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Sedangkan metode rukyat yang tertuang dalam hadits Rasulullah SAW, H.R. Bukhari-Muslim tentang menggenapkan bulan menjadi 30 hari memang pernah dilakukan. Rasulullah SAW puasa 29 hari dari 9 kali Ramadhan, puasa 30 hari 1 kali karena tidak melihat bulan.
Di jaman Rasulullah SAW tentunya ilmu astronomi belum sehebat sekarang, sehingga metode hisab yang digunakan pun masih manual, seperti tertuang dalam hadits tersebut.
Tapi disayangkan, seringkali memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya tidak sesuai dengan suara minoritas Muslim yang benar telah melihat al hilal, atau mendengar kabar hilal di negara lain.
Keputusan Pemerintah berbeda dengan suara minoritas Muslim selama ini, karena keputusan pemerintah masih diartikan sebagai keputusan mutlak benar dan harus ditaati oleh rakyat Indonesia.
Padahal sejak dimulainya berpuasa Ramadhan, sejak tahun ke-2 Hijriyah, selama di Madinah, Rasulullah lebih sering berpuasa 29 hari, dan hanya sekali saja berpuasa genap 30 hari, karena gagal melihat al hilal.
Sedangkan, di Kerajaan Saudi, berpuasa 29 hari bukanlah hal aneh. Mereka biasa berpuasa seperti itu, dan lebih jarang berpuasa 30 hari. Artinya, usaha melihat al hilal juga lebih banyak suksesnya, daripada gagalnya.
Tapi di Indonesia lain lagi. Mayoritas puasa di negeri kita 30 hari, jarang sekali 29 hari. Padahal panjang wilayah Indonesia jauh lebih panjang daripada Kerajaan Saudi. Ini menjadi pertanyaan yang penuh misteri.
Satu kelemahan fundamental penentuan rukyatul hilal di Indonesia adalah pihak yang berhak melihat hilal itu hanyalah orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh negara, dengan Surat Keputusan, fasilitas, serta honor tertentu. Adapun kaum Muslimin yang melihat secara mandiri alias swasta tidak akan diterima hasil penglihatannya, meskipun dia Muslim yang adil dan benar-benar telah melihat al hilal.
Kalau merujuk ke sistem kaum Muslimin di masa Rasulullah, setiap Muslim yang benar-benar telah melihat al hilal, bisa diterima kesaksiannya. Dan proses melihat al hilal itu tidak harus dimonopoli oleh Pemerintah. Semua Muslim boleh melihat dengan caranya masing-masing dan di tempat masing-masing.
Penetapan 1 Syawal dalam proses pengamatan al hilal sejatinya tidak menjadi monopoli badan tertentu. Ia bebas milik umat Islam dan melibatkan siapapun yang mampu dan sempat melakukannya. Jangan sampai, ketika ada seseorang yang telah melihat al hilal, hanya karena dia tidak tergabung dalam panitia rukyatul hilal, pengamatannya ditolak.
Semarang, 29 Agustus 2011 jam 19:24
Salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar