Rabu, 07 September 2011

SASTRA KITA

Cerpen Herdini Primasari

Senja di Ufuk Timur

Senja muram kemerah-merahan. Tidak membuatku tersenyum karenanya, seperti dahulu ketika aku menikmati keindahannya. Lain dirasa semenjak semuanya tlah tiada. Ternyata, aku tidak akan menyangka kalau aku akan berpisah untuk sekian lama hingga bertemu lagi di suatu senja yang sama, senja yang abadi.
*** 
Dulu, ketika ragaku masih muda, terlebih saat aku masih kecil, aku sering sekali bermain bersama sama saudaraku yang lainnya. Kami sering menikmati senja di halaman rumah kami sambil berkhayal dan bercerita. Sering pula kami tertawa, bertengkar, berbagi suka dan duka bersama. Lalu masih teringat dalam benakku ketika aku dan 4 saudaraku yang lainnya dimarahi oleh kedua orang tua kami karena kami seringkali kembali ke rumah saat malam tiba. Itu tidak membuat kami kapok karenanya, malah kami semakin sering melakukannya, hingga kedua orang tua kami lelah untuk menasihati.

Pernah ketika aku berumur 10 tahun, aku mengajaknya untuk bermain lebih jauh dari pada biasanya. Kakakku dengan lembut mengingatkan aku agar tidak menuruti kemauanku. Itu karena ada dua alasan, salah satunya pasti dari orang tua dan aku juga belum mengenal lingkungan sekitarku. Tetapi aku tetap memaksanya, dan akhirnya dia menuruti kemauanku. Dia pun mengajak 2 adikku yang sudah agak besar untuk ikut bermain.
Sepulangnya kami dari bermain, kami mendapati kedua orangtua kami sangat murka. Saat itu memang kami pulang terlalu larut karena sempat tersesat dan kami lupa waktu. Juga pakaian kami kotor sekali. Dan aku masih ingat saat itu ketika aku dan kakakku juga kedua adikku dimarahi. Aku merasa sangat bersalah karena sudah memaksa kakakku. Tentunya kakakku yang dimarahi karena dia melanggar perintah. Tidak! Sebenarnya aku yang membuatnya melanggar! Aku melihat dia tersenyum tulus padaku dan berpaling membelaku
"Ayah, Ibu, maafkan Fadil tadi sudah melanggar dan tidak bisa menjaga ketiga adik Fadil, sehingga kami pulang dalam keadaan kotor dan kusam. Juga kami pulang terlalu larut."
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku sangat merasa bersalah pada kakakku. Kakakku yang pertama memang bernama Fadil, sedangkan aku adalah anak kedua. Tahukah kau? Ketulusan hatinya bukanlah suatu hal yang jarang dia lakukan. Ketulusan merupakan bagian dari dirinya. Dan andaikata aku mendengarkan perkataan kakakku, pasti tidak akan seperti ini. Ini bukan yang pertama. Masih ada yang lainnya. Dan itu membuat aku kagum akan sosok kakakku yang pertama, Fadil.
***
Bertahun-tahun lamanya, kami masih bersama - sama menikmati senja nan indah seperti lukisan itu. Hingga ada saat dimana kami mulai jarang melakukan hal tersebut karena sebuah kemurungan tiba. Kakakku yang paling pertama, meninggal saat sedang dalam shalatnya, dan belum sempat menemani adik-adiknya bermain bersama di halaman rumah dengan siraman sinar senja. Padahal ia telah berjanji kepadaku dan kepada ke-3 saudaraku yang lainnya. Aku tak percaya dia pergi terlalu cepat. Begitu pula dengan saudaraku yang lainnya.
"Kakak... andaikan kakak masih ada, kita masih bisa bermain main lagi tadi sore. Kakaaak... aku belum mau kakak pergi!!!" adikku yang paling kecil menangis sejadi jadinya. Tentu bukan hanya dia yang merasa kehilangan. Aku pun juga, dan semua yang mengenalnya. Dia bagaikan sebuah pelangi yang menghiasi gelap. Tanpa adanya, maka kami seperti kehilangan keceriaan kami. Kakakku lah yang membuat suasana rumah kami menjadi ceria dan menyenangkan.
"Sudahlah, jangan menangis lagi Dinda. Kakak sudah pergi dengan tenang. Coba liat tuh, wajahnya berseri - seri dan tersenyum. Jangan sedih lagi, ya. Pasti kakak senang kalau kamu juga tersenyum." hiburku. Adikku yang paling kecil tersebut bernama Dinda.
Adikku masih saja menangis tersedu-sedu. Begitupun dengan dua yang lainnya. Ah, kepergiannya memang terlalu cepat. Tapi aku dan keluargaku tidak boleh terus larut dalam sedih. Bisa-bisa semuanya kacau. Toh, kakak memang sudah tiada, tapi bukan berarti benar-benar tiada, kan? Kami berada pada dimensi yang berbeda, dimana kami dan dia tak lagi bisa berbincang ria dengan hangat. Hanya dengan doa kini aku bisa melepas rindu.
***
Masih sama. Hobi kami menikmati dan bermain di halaman pada waktu senja sama sekali tidak hilang, walaupun memang suasananya ada yang berkurang. Tapi kini aku sebagai penggantinya menghibur ketiga adikku ini. Memang miris dan rindu rasanya mengingat kakakku.
Aku merasa bersalah tiap kali teringat akan kejadian malam itu. Dan saat itulah aku berjanji menjadi seorang kakak yang lebih baik dan bisa lebih tegas dari kakakku. Ah, aku memang tidak bisa lupa. Betapa baiknya dia membelaku padahal dia tidak salah sama sekali.
"Sudah lama ya, kakakmu pergi" kenang ibu sambil duduk di kursi malasnya.
"Ah ibu. Kan yang penting dia bisa bahagia disana."
"Tapi rasanya masih kemarin dia disini, ibu jadi rindu."
"Ayah juga, bu." ayah yang sedari tadi membaca koran di sofa ikut nimbrung.
Aku hanya tersenyum saja. Saat itu sudah 3 tahun berlalu. Jelas ibu rindu. Siapa, sih, yang tidak rindu kalau ditinggal sama orang yang disayang dalam waktu yang lama?
*** 
Saat ini aku dan keluargaku sedang berlibur ke Bali. Kami mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di sana. Kami juga mengagumi berbagai keindahan alamnya dan lain lain. Siang itu kami habiskan untuk berwisata keliling Bali. Karena sudah mulai lapar dan lelah, kami mencari sebuah tempat makan yang ada di dekat penginapan kami.
Pada waktu itu 2 adikku yang masih kecil ingin makan di warung seberang jalan. Tapi kami sudah tak mungkin menyebrang lagi, juga kami sudah memesan makanan. Karena terus merengek, akhirnya sebelum pesanan datang ibuku membatalkan pesanan untuk kedua adikku dan ayahku menemani kedua adikku untuk memilih makanan yang mereka mau.
Aku saat itu sedang membaca buku sehingga aku tidak terlalu memperhatikan rengekan adikku yang tadi sudah ditemani ayah. Dan aku juga tidak terlalu memperhatikan sekitarku. Tapi.... rasanya kok ada yang aneh ya. Ada yang hilang. Tidak, tidak. Pasti cuma perasaan saja, paling paling setan mau ngajak main.
Ciiiittt....!!! BRAAAAAKK!
Suara apa itu? Rasanya seperti ada tabrakan. Aku, adikku yang umurnya tak beda jauh denganku, dan ibuku kaget. Segera aku menyimpan bukuku dalam tas dan mengajak ibu dan adikku untuk melihatnya. Ternyata ada sebuah kecelakaan di jalan raya yang tak jauh dari tempatku berada. Siapa yang kecelakaan? Sepertinya tadi jalanan itu kondisinya aman dan teratur.
Kerumunan tak membutuhkan waktu yang lama untuk muncul, dan segera saja orang mengelilinginya. Aku dan adikku serta ibuku bertanya ada apa gerangan dan siapa yang mengalami kecelakaan. Orang-orang mengatakan ada mobil dengan kecepatan tinggi menabrak seorang lelaki dan dua orang anak, tetapi sang pengemudi kabur begitu saja. Hah? Benarkah itu? Aku segera menyeruak.
Tunggu... diantara darah-darah yang menutupi wajah itu, aku seakan mengenalinya sejak lama. Aku segera mendekati ketiga mayat itu. Ternyata!!!! Mereka adalah ayah dan kedua adikku! Kenapa lagi sih? Aku diuji lagi? Aku segera memeluk jasad mereka yang bersimbah dara sambil menangis tersedu-sedu. Kini aku semakin kehilangan. Aku tidak terima. Orang-orang yang berkerumun kemudian semakin sedikit hingga tersisa aku, adik, dan ibuku. Kami bertiga sudah kehilangan lagi.
*** 
20 tahun kemudian...
Kini aku sudah berkeluarga. Tetapi aku masih tidak bisa melupakan kejadian kelam itu dan aku masih sering menikmati senja bersama anak anakku. Aku masih saja terlihat murung. Istriku dan kedua anakku memang tidak tahu apa yang membuatku murung.
Tibalah saat keluargaku pulang kampung ke Sumatera, tempat kelahiranku. Sekaligus menjenguk ibuku dan menemui adikku.
"Akhirnya, kamu datang juga kak. Aku sempat khawatir" adikku menyambut dengan senyum
"Iya, win. Alhamdulillah perjalanan kami lancar dan aman juga menyenangkan. Oh ya keluargamu dimana? Kok belum muncul?' aku sembari menaruh barang-barang bawaanku.
"Mereka lagi main di taman."
"Kalau ibu dimana?"
Winda memberi isyarat agar aku mengikutinya. Aku ikuti saja kemana dia pergi
"Ibu, ini ada kak Dandi!" Serunya saat ada di halaman belakang
Ibu segera menoleh "Ah, datang juga kau nak, sini duduk sekat ibu. Ceritakan apa yang kamu alami selama ini."
Aku menceritakan pengalamanku dalam rantau-merantau dan kalau masalah menikah, pasti ibu sudah tahu ceritanya. Lalu aku bercerita padanya kalau aku masih sering murung dan merasa bersalah atas kematian sebagian keluargaku, yah memang diluar kesengajaan dan memang sudah takdirnya, tapi aku masih belum bisa menerimanya.
"Nak, kamu nggak bisa terus begitu. Mau sampai kapan kamu berpikir seperti itu? Nanti bisa bikin kamu sakit" respon ibuku
"Iya, sih, bu. Tapi rasanya masih berat melepas kepergian mereka. Apalagi kalau aku sedang mengulangi kebiasaan yang sama, menikmati senja dengan keluargaku. Pasti aku selalu teringat"
"Cepat atau lambat kamu pasti bisa menerimanya. Mbok ya kamu tuh nggak usah ngoyo gitu. Toh mereka udah bahagia kan, disana. Mereka kan pasti sedih kalau kamu juga sedih. Semua manusia juga pasti bakal ditagih janji nyawanya. Kamu, ibu, Winda, semuanya pasti bakal menemui ajalnya."
"Kakaaak, cepetan dong! Mau ikut ngeliat senja bareng-bareng gak???" Teriak adikku dari dalam
"Baiklah" balasku. "Ayo bu, kita ke halaman depan, melihat senja bersama keluarga dan cucu."
Kami kembali melihat pemandangan senja. Pemandangan yang tak pernah berubah dari dulu. Dan kini bagiku mempunyai arti yang berbeda. Kata-kata ibu mengingatkan aku agar aku merelakan kematian sebagian keluargaku. Dan pada senja yang kali ini dinikmati oleh sebuah keluarga besar, aku berjanji untuk mendoakan mereka. Aku berharap dapat menemui mereka dan bermain bersama mereka pada suatu senja yang abadi di taman-taman surga
***

Catatan Redaksi:
Sastra Kita kali ini mengetengahkan Cerpen karya Herdini Primasari.
Ia adalah salah satu penulis di esq165-news,com
http://penulis165.esq-news.com/u/herdini-primasari

1 komentar: