Rokok antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan : Ternyata Kepentingan Ekonomi Adalah bohong besar
Selama ini rokok dianggap sebagai penyumbang devisa terbesar
untuk negara padahal nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar
negara. Kerugian yang ditimbulkan rokok bukan hanya masalah
kesehatan saja tapi juga masalah moral dan finansial. Menurut data
Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau
adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termask biaya kesehatan,
pengobatan dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan
negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun. Artinya biaya
pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar
7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi
sebenarnya masyarakat kita sudah terpedaya, sudah tahu rugi tapi tetap
dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir orang-orang tertentu
yang tidak cerdas.
Pada masyarakat miskin fenomena ini lebih
mengerikan lagi, ketika uang belanja dihamburkan untuk rokok dengan
mengalahkan belanja susu dan lauk pauk keluarga juga akan mengakibatkan
pengeluaran ekonomi lebih tersedot besar bila terjadi komplikasi
akibat rokok. Bila masyarakat kecil ini tidak mampu membiayai sendiri
kerusakan kesehatan akibat rokok maka biaya pemerintahlah yang akhirnya
diambil untuk mensubsidi biata kesehatan perokok ini.
Pemerintah
hanya beralasan saja kalau pendapatan industri rokok penyumbang
pendapatan terbesar. Berdasar data dari APBN dan Dirjen Cukai yang
dikutip oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
(UI), penerimaan cukai tembakau hanya lima persen dari APBN dari tahun
1997-2007.
Rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral
dan lost generation. Sangat jarang sekali orang yang minum alkohol,
terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu.
Menurut agama Islam yang diyakini bebeberapa ulama merokok adalah
kegiatan yang mubazir atau makruh. Memang dilema, di satu sisi negara
butuh uang tapi di sisi lain banyak yang dirugikan akibat rokok. Bahkan
PP Muhammadiyah belakangan ini mengeluarkan fatwa haram bagi rokok,
setelah sebelumnya MUI juga mengeluarkan fatwa rokok haram bagi anak
dan ibu hamil.
Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009
disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol
dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan
narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga harusnya
tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial.
Kenaikan
cukai tembakau rokok sebesar 15 persen menurut banyak puhak dianggap
tidak akan berpengaruh. Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang
bersifat candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan
mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya. Kedua, grafik elastisitas
rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu
mengurangi konsumsi rokok. Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi
dan hal ini memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.
Untuk
itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP)
khusus yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU
yang mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU
Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika
No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007. Di situ ada aturannya nikotin harus
dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendiri-sendiri maka
tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi
UU.Peningkatan cukai rokok juga harus didistribusikan pada
kegiatan-kegiatan untuk menangani sektor kesehatan. “Perokoklah yang
membayar cukai tembakau sehingga sudah semestinya dana cukai
dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat.
Tidak
bisa beli susu anak tapi tiap hari merokok berbungkus-bungkus
Banyak
ditemukan para perokok dari ekonomi bawah mengaku tidak bisa beli susu
buat karena nggak punya uang. Padahal di tangannya terselip sebatang
rokok, dan perokok ini menghabiskan berbubgfkus-bungkus rokok sehari.
Memprihatinkan sekali, nyawa dan kesehatan anak dinomorduakan demi
kenikmatan rokok. Banyak orang miskin yang berusaha melupakan
kemiskinannya dengan merokok. Padahal orang miskin tidak sadar bahwa
merokok bisa membuatnya terus miskin hingga tujuh turunan.
Di
pedesaan, rokok sudah menjadi menu sehari-hari selain makanan pokok dan
kopi yang selalu harus ada. Menurut hasil survei lembaga demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, besarnya pengeluaran untuk
rokok adalah Rp 3.545 per hari atau Rp 106.350 per bulan. Ini setara
dengan 26 persen penghasilan buruh tani tembakau per bulan. Dengan kata
lain, seperempat upah buruh habis untuk dibakar.
Studi
terbaru yang dilakukan Steven Block dan Patrick Webb dari Universitas
Tufts mengungkapkan bawa para perokok di pedesaan Indonesia membiayai
kebiasaan mereka dengan merogoh budget uang makanan keluarga—yang pada
akhirnya menyebabkan giji buruk pada anak-anak mereka. Studi ini akan
dipublikasikan pada Oktober mendatang, menjadi issu pada Economic
Development and Cultural Change.
Survei menggunakan 33.000 keluarga di
Jawa, Indonesia. Para peneliti menemukan bahwa rata-rata keluarga yang
salah satu anggotanya merokok menghabiskan 10% anggaran untuk rokok,
lalu 68% anggaran keluarga perokok diperuntukan pada makanan, dan 22%
pembelian non-makanan, non-rokok. Rata-rata keluarga tidak merokok,
menghabiskan 75% pendapatannya untuk makanan dan 25% untuk
barang-barang non-makanan. “Hal ini terkesan bahwa 70% dari
pembelanjaan produk tembakau dibiayai dengan mengurangi pembiayaan
makanan.” ungkap peneliti.
Penurunan uang belanja untuk makanan
memunculkan konsekuensi nyata bagi gizi anak-anak para perokok. Studi
menemukan bahwa anak-anak perokok cenderung lebih kurus pendek untuk
usia mereka dibandingkan anak-anak dari bukan perokok. Gizi buruk ini
bukan hanya karena kurang makanan tapi juga makanan yang dibeli
cenderung berkualitas rendah.
Data lain yang memprihatinkan juga
ternyata industri rokok di Indonesia terbukti mengeksploitasi keluarga
miskin di perkotaan melalui adiksi terhadap tembakau dalam rokok.
Berdasar data Survei Sosial
Ekonomi Nasional 2005-2006, sekitar 78,8 persen kepala keluarga rumah
tangga miskin perkotaan adalah perokok. Pengeluaran keluarga miskin
tersebut untuk rokok per minggu 22 persen lebih tinggi dari pengeluaran
untuk membeli beras sebesar 19 persen. Kelompok pendapatan terendah (20
persen rumah tangga yang berpendapatan terendah) membelanjakan 12
persen pengeluaran bulanannya untuk membeli rokok, padahal kelompok
berpendapatan tertinggi hanya membelanjakan 9,25 persen.
(A.N.K.12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar