Senin, 20 Februari 2012

YANG RINGAN SAJALAH



Rokok, Bikin rugi ! 
 

Rokok antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan : Ternyata Kepentingan Ekonomi Adalah bohong besar

Selama ini rokok dianggap sebagai penyumbang devisa terbesar untuk negara padahal nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar negara. Kerugian yang ditimbulkan rokok bukan hanya masalah kesehatan saja tapi juga masalah moral dan finansial. Menurut data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termask biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun. Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya masyarakat kita sudah terpedaya, sudah tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir orang-orang tertentu yang tidak cerdas.
Pada masyarakat miskin fenomena ini lebih mengerikan lagi, ketika uang belanja dihamburkan untuk rokok dengan mengalahkan belanja susu dan lauk pauk keluarga juga akan mengakibatkan pengeluaran ekonomi lebih tersedot besar bila terjadi komplikasi akibat rokok. Bila masyarakat kecil ini tidak mampu membiayai sendiri kerusakan kesehatan akibat rokok maka biaya pemerintahlah yang akhirnya diambil untuk mensubsidi biata kesehatan perokok ini.
Pemerintah hanya beralasan saja kalau pendapatan industri rokok penyumbang pendapatan terbesar. Berdasar data dari APBN dan Dirjen Cukai yang dikutip oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), penerimaan cukai tembakau hanya lima persen dari APBN dari tahun 1997-2007.
Rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. Sangat jarang sekali orang yang minum alkohol, terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu. Menurut agama Islam yang diyakini bebeberapa ulama merokok adalah kegiatan yang mubazir atau makruh. Memang dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak yang dirugikan akibat rokok. Bahkan PP Muhammadiyah belakangan ini mengeluarkan fatwa haram bagi rokok, setelah sebelumnya MUI juga mengeluarkan fatwa rokok haram bagi anak dan ibu hamil.
Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga harusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial.
Kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen menurut banyak puhak dianggap tidak akan berpengaruh. Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya. Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi rokok. Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.
Untuk itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU yang mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007. Di situ ada aturannya nikotin harus dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendiri-sendiri maka tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi UU.Peningkatan cukai rokok juga harus didistribusikan pada kegiatan-kegiatan untuk menangani sektor kesehatan. “Perokoklah yang membayar cukai tembakau sehingga sudah semestinya dana cukai dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat.
Tidak bisa beli susu anak tapi tiap hari merokok berbungkus-bungkus
 Banyak ditemukan para perokok dari ekonomi bawah mengaku tidak bisa beli susu buat karena nggak punya uang. Padahal di tangannya terselip sebatang rokok, dan perokok ini menghabiskan berbubgfkus-bungkus rokok sehari. Memprihatinkan sekali, nyawa dan kesehatan anak dinomorduakan demi kenikmatan rokok.  Banyak orang miskin yang berusaha melupakan kemiskinannya dengan merokok. Padahal orang miskin tidak sadar bahwa merokok bisa membuatnya terus miskin hingga tujuh turunan.
Di pedesaan, rokok sudah menjadi menu sehari-hari selain makanan pokok dan kopi yang selalu harus ada. Menurut hasil survei lembaga demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, besarnya pengeluaran untuk rokok adalah Rp 3.545 per hari atau Rp 106.350 per bulan. Ini setara dengan 26 persen penghasilan buruh tani tembakau per bulan. Dengan kata lain, seperempat upah buruh habis untuk dibakar.
Studi terbaru yang dilakukan Steven Block dan Patrick Webb dari Universitas Tufts mengungkapkan bawa para perokok di pedesaan Indonesia membiayai kebiasaan mereka dengan merogoh budget uang makanan keluarga—yang pada akhirnya menyebabkan giji buruk pada anak-anak mereka. Studi ini akan dipublikasikan pada Oktober mendatang, menjadi issu pada Economic Development and Cultural Change.
Survei menggunakan 33.000 keluarga di Jawa, Indonesia. Para peneliti menemukan bahwa rata-rata keluarga yang salah satu anggotanya merokok menghabiskan 10% anggaran untuk rokok, lalu 68% anggaran keluarga perokok diperuntukan pada makanan, dan 22% pembelian non-makanan, non-rokok. Rata-rata keluarga tidak merokok, menghabiskan 75% pendapatannya untuk makanan dan 25% untuk barang-barang non-makanan. “Hal ini terkesan bahwa 70% dari pembelanjaan produk tembakau dibiayai dengan mengurangi pembiayaan makanan.” ungkap peneliti.
Penurunan uang belanja untuk makanan memunculkan konsekuensi nyata bagi gizi anak-anak para perokok. Studi menemukan bahwa anak-anak perokok cenderung lebih kurus pendek untuk usia mereka dibandingkan anak-anak dari bukan perokok. Gizi buruk ini bukan hanya karena kurang makanan tapi juga makanan yang dibeli cenderung berkualitas rendah.
Data lain yang memprihatinkan juga ternyata industri rokok di Indonesia terbukti mengeksploitasi keluarga miskin di perkotaan melalui adiksi terhadap tembakau dalam rokok.
Berdasar data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005-2006, sekitar 78,8 persen kepala keluarga rumah tangga miskin perkotaan adalah perokok. Pengeluaran keluarga miskin tersebut untuk rokok per minggu 22 persen lebih tinggi dari pengeluaran untuk membeli beras sebesar 19 persen. Kelompok pendapatan terendah (20 persen rumah tangga yang berpendapatan terendah) membelanjakan 12 persen pengeluaran bulanannya untuk membeli rokok, padahal kelompok berpendapatan tertinggi hanya membelanjakan 9,25 persen.


(A.N.K.12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar