Jumat, 10 Juni 2011

SASTRA KITA

SINOPSIS :
Aku Bukan Teroris - 1
Oleh:  Jodhi Yudono
Sebuah novel karya: HANDOKO ADINUGROHO

“Lovely Twins”, istri yang selalu menari di sukmaku;
Adek dan Sakti, buah hati yang senantiasa menjadi oase dalam pengembaraanku;
kepada kalianlah kucurahkan segenap rindu dan buku ini kupersembahkan...
“Siapa yang ditimpa musibah, kemudian berusaha untuk menyingkirkannya,  hendaklah ia membayangkan kembali apa arti semua itu. Bayangkanlah pahalanya dan kemungkinan diturunkannya bencana yang lebih besar. Orang seperti itu akan merasakan keuntungan dari cara pandang yang demikian. Hendaknya ia membayangkan bahwa cobaan itu akan segera hilang.
Sebab, jika bukan karena besarnya cobaan, tak akan ada rasa senang dan tenang. Hendaklah ia sadar bahwa cobaan yang ia alami saat ini adalah laksana tamu yang hanya melepas kebutuhannya yang datang setiap saat.
Alangkah cepatnya tamu itu berlalu. Betapa indahnya pujian-pujian yang dilantunkan di tengah-tengah pesta-pesta. Betapa terpujinya sang tuan rumah atas kedermawanannya.
Demikian pula, seorang mukmin yang ditimpa kesulitan hendaknya memperhatikan waktu, mengawasi kondisi jiwa, menjaga anggota badan, agar jangan sampai terucap dari lisan kita suatu kalimat yang tak pantas atau timbul dari dalam hati ini rasa dengki. Jika demikian halnya, maka tampaklah baginya fajar yang menyingsing menghadirkan pahala dan berlalulah malam yang mengusung bala. Tatkala matahari pahala menyingsing, ia telah sampai pada tujuan dengan selamat, melewati segala bencana dengan penuh kesabaran.”
(Imam Ibnu al-Jauzy). Seluruh kisah dalam buku ini adalah fiktif, meskipun nama tempat dan beberapa peristiwa memang faktual.   

SINOPSIS
ABIDAH harus terus berlari dan bersembunyi. Semua itu terjadi hanya lantaran sang suami, Muslihin, dituduh terlibat dalam peristiwa peledakan bom di Bali. Abidah sempat diperiksa di Polda, namun ia hanya dimintai keterangan sebagai saksi. Tetapi setelah ada tujuh lelaki berpakaian safari yang memeriksanya secara marathon selama 13 hari berturut-turut – yang tak ia ketahui di mana diperiksa dan siapa pemeriksanya – status Abidah berubah. Ia bukan lagi sebagai saksi namun sudah dianggap sebagai bagian dari organisasi teroris itu.
Cap itu sangat melekat.
 Apalagi tiga orang yang mengaku sebagai pengacara dan siap mendampinginya memberitahukan latar belakang keluarga Abidah, bahwa ternyata ayahnya adalah aktivis DI/TII, pamannnya yang tinggal di Kuala Lumpur pun aktivis gerakan yang sama. Dua hal yang sebelumnya tak pernah didengar oleh Abidah. Lebih dari itu, suaminya pun ternyata aktivis Jamaah Islamiyah. Maka, cap itu pun semakin tebal. Apalagi setiap hari Abidah selalu mengenakan burka yang senantiasa diidentikkan sebagai seorang yang radikal.
Kampung tempatnya tinggal tak lagi mau menerimanya. Abidah diusir. Bersama anaknya yang belum genap lima tahun, Hanifah dan ibu mertuanya, Abidah harus menggelandang. Sampai kemudian ia ditolong oleh seorang satpam sebuah pompa bensin. Ternyata satpam itu mantan pencoleng, bahkan pernah dicap sebagai PKI.
Di rumah satpam bernama Dulhadi itu, Abidah merasa tenteram. Para tetangga memperlakukannya secara wajar. Namun ternyata, keberadaan Abidah tetap tercium. Berkat keterangan yang diberikan oleh salah seorang operator di pompa bensin tempat Dulhadi bekerja, orang-orang yang mencari Abidah mencium keberadaannya. Rumah Dulhadi pun digerebek. (http://oase.kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar