Senin, 20 Juni 2011

BERITA UTAMA


Parodi SEMARANG METRO

Bersatu Lalu Keliru

  • Prie GS - 19 Juni 2011
”TAK ada tempat bagi kejujuran,” keluh seorang teman. Keluhan ini keliru. Karena tempat itu banyak, kejujurannyalah yang jarang. Lihat saja kasus Bu Siami itu. Ia mungkin kesempitan di lingkungannya. Tetapi karena itulah ia dibela di mana-mana diundang ke Istana Negara pula.

Jadi tempat bagi kejujuran itu terbuka lebar. Penghuninyalah yang jarang. Kepada si jujur, si berani dan si luhur sejatinya disediakan tempat yang luas sekali. Persoalannya ialah, mengapa tempat yang luas itu selalu sepi?

Karenanya biar menjadi ramai, kejujuran itu harus dirangsang, dibiasakan dan ditradisikan. Kita sudah paham betapa kuat kepatuhan kita kepada tradisi. Keliru saja, jika sudah  tradisi, akan tetap dijalani. Maka kalau yang keliru diganti benar, kekuatan kita dalam menjalani kebenaran pasti  akan kuat sekali, karena kebenaran sudah menjadi tradisi. Maka mentradisikan kebenaran dan kejujuran harus segera dimulai.

Jika sudah menjadi tradisi, berbuat jujur dan  benar itu akan terasa ringan dan mudah. Tidak sulit dan berat seperti sekarang ini. Mengapa ringan? Karena semua menjalani. Kenapa mudah, karena semua saling menduplikasi. Satu memeragakan, yang lain meniru.  Itulah inti duplikasi. Jika hal ini terus berjalan  akan jadilah kebiasaan. Jika sudah  menjadi kebiasaan, jadilah keharusan. Harus benar dan harus jujur, sebab kalau tidak seseorang akan dianggap menyalahi tradisi. Siapa saja yang dianggap menyimpang dari tradisi, akan diasingkan dan dianggap orang buangan.

Bayangkan jika kita memiliki tradisi kebenaran semacam itu, Indonesia pasti akan menjulang sangat tinggi. Salah, tidak jujur dan korupsi, lalu akan dicap bertentangan dengan tradisi. Lihatlah sikap kita pada tradisi itu, sungguh masih tetap kekuatannya. Tegasnya, masih kuat  sekali. Tetapi isi tradisi itu juga masih tetap, juga masih kuat sekali. Ada tradisi untuk membela kekeliruan, tradisi menolong kesalahan, tradisi menyantuni kebodohan yang buahnya malah berupa penjerumusan.

Penjerumusan ini sunguh terjadi di banyak segi. Seluruh murid bodoh harus dibantu diluluskan kalau perlu diberi sontekan. Malah pernah  diberlakukan sistem nilai subsidi, nilai si pintar dikurangi untuk diinfakkan kepada teman yang kekurangan. Jika hendak mencari SIM tak perlu dengan ujian malah kalau perlu umur dituakan. KTP pun jangan dipersulit demi pertemanan. Itulah kenapa sesorang penduduk  bisa memiliki KTP yang berbeda hingga enam.  Semua urusan harus dimudahkan. Jangan dipersulit, harus gotong royong. Welas asih, dan terbiasalah menyantuni sesama yang membutuhkan.

Sunguh, niat mulia itulah yang sebenarnya terjadi. Itu adalah tradisi yang kuat sekali. Saling ingin membantu, meringkankan, memudahkan dan melancarkan. Apa yang salah dari  semua ini? Tidak ada. Ini tradisi luar biasa. Mulia sekali. Kebiasaan yang sudah mengakar ini tak perlu diubah, karena bisa jadi mustahil diubah. Yang diubah cukuplah muatannya. Bentuknya biarlah. Harus tetap terus tolong-menolong, berjibaku, bahu-membahu tetapi tidak untuk soal-soal yang keliru.

Maka biarlah anak kelas tiga SD ini menjawab soalnya dengan jujur, walau mungkin keliru, sepanjang kejujuran itulah yang  sedang dipentingkan. Misalnya, apa tindakanmu jika teman sebangku lupa membawa pensil? Meminjami, membiarkan, membelikan? Keponakan saya menjawab dengan tegas: membiarkan. Tentu saja jawabannya dipersalahkan oleh sekolah. Tetapi apakah anak ini jahat? Tidak. Sebab hari itu, ia juga lupa membawa barang yang sama. Jika kejujuran akan ditradisikan, jawaban anak ini harus dibenarkan. Dan itu butuh menjadi kesepakatan hingga ke Menteri Pendidikan. (33)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar