Jumat, 15 April 2011

PUISIKU PUISIMU PUISI KITA

Pengantar Redaksi:
Suatu hari 12 Juli 1975 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
dari Kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi

WS Rendra membacakan sebuah puisi:  Sajak Seonggok Jagung

 

Puisi yang membandingkan seorang yang belajar dari kehidupan sekolah sepanjang hayat, dan seorang yang menikmati pendidikan formal setingkat Sekolah Lanjutan Atas.

Perbandingan ini kami sajikan bagi anak-anak siswa kelas XII khususnya

dan siswa SMA 5 Semarang umumnya, dan seluruh pelajar Indonesia.

Selengkapnya renungkanlah puisi ini.

 

SAJAK SEONGGOK JAGUNG

 

Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan.
memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani; ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan pergi ke pasar  
dan ia juga melihat suatu pagi hari di dekat sumur
gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung menjadi maisena.
sedang di dalam dapur tungku-tungku menyala.
di dalam udara murni tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda.
ia siap menggarap jagung,
ia melihat kemungkinan 
otak dan tangan siap bekerja

tetapi ini :

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
ia melihat saingannya naik sepeda motor.
ia melihat nomor-nomor lotre.
ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.

Seonggok jagung di kamar 
tidak menyangkut pada akal, tidak akan menolongnya.
seonggok jagung di kamar tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :
apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?

Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar